Senin, 20 Februari 2017

Matrilineal Minangkabau dalam Hukum Adat

Dalam membahas mengenai hukum adat, kita akan dihadapkan pada pemahaman mengenai apa yang disebut keturunan berdasarkan keturunan bapak (patrilineal), berdasarkan keturunan ibu (matrilineal) yang biasa juga di sebut unilateral ataupun, berdasarkan keturunan kedua orang tua (parental) yang di sebut bilateral. Masing-masing penarikan garis keturunan ini memiliki keunikan pada adat disetiap wilayah yang mengakui dan melaksanakannya sebagai suatu hukum adat yang diakui oleh masyarakat adat.

Kali ini saya akan bahas mengenai garis keturunan keibuan atau yang biasa kita sebut juga dengan matrilineal. Matrilineal mungkin hanya dianut oleh sedikit suku di Indonesia, jumlah kesukuan adat yang menganutnya tidak sebanyak patrilineal ataupun parental, namun demikian matrilineal ini tidak kalah menariknya dengan yang lainnya. Wilayah yang menganutnya yang dikenal secara luasa adalah wilayah Sumatra Barat yang dikenal dengan suku Minangkabau.

Terkadang masyarakat adat Minangkabau sering disebut sebagai orang Padang, namun menurut saya itu tidaklah tepat, karena kata "Padang" pada dasarnya merujuk pada suatu wilayah yang menjadi Ibu Kota  dari wilayah Sumatra Barat dan kata padang tidaklah merujuk pada suatu adat tertentu tapi lebih kepada nama sebuah kota yang ada di Sumatra Barat, jadi orang minang di katakan orang padang menurut saya bukan lah suatu hal yang tepat, yang dirasa lebih tepat adalah orang Minang yang berasal dari nama sukunya yaitu Minangkabau, yang sebenarnya memiliki sejarah dan arti tersendiri.

Dalam pelaksanaan adatnya, suku Minangkabau menganggap Ibu adalah sesuatu yang sangat penting posisinya dalam sebuah keluarga,  karena kedudukan wanitalah yang dianggap dapat menerima warisan atas apa yang dimiliki oleh keluarga besarnya. Warisan yang dimaksud biasanya berupa sawah, ladang, tanah, rumah, perhiasan dan barang barang pusaka lainnya.

Keturunan perempuan dirasa sangat penting perannannya dalam adat, karena bila nanti seorang wanita menikah dan memiliki anak, maka anak tersebut akan masuk kepada bagian dari keluarga ibunya tersebut, bertempat tinggal dan yang dianggap rumahnya adalah rumah ibunya, adapun laki laki yang berasal dari pihak Ibunya kedudukannyapun dianggap tinggi.

Dalam adat minangkabau, dalam pernikahan masyarakatnya di kenal 3 bentuk perkawinan, yaitu : 
  1. Perkawinan Bertandang
  2. Perkawinan Menetap
  3. Pekawinan Bebas

Ketiga perkawinan yang disebukan diatas sedikit banyak akan menggambarkan bentuk hubungan dan nilai rasa dimasyarakat minang yang menggunakan asas Eksogami, Apa itu Eksogami ? pengertian Eksogami secara umum adalah pernikahan keluar. Biasanya pengertian tersebut dibagi dalam dua rumusan, yaitu dalam arti positif, yang berarti suatu sistem perkawinan dimana seorang harus kawin dengan anggota klan lain. sedangkan dalam arti negatif, yang berarti suatu sistem perkawinana dimana seseorang dilarang atau tidak boleh kawin dengan anggota se-klan. Istilah klan ini merujuk pada keluarga besar, jadi maksudnya adalah satu keluarga besar yang berasal dari satu garis keturunan ibu.

Eksogami inilah yang membuat sistem Matrilineal terjaga dengan baik karena setiap lelaki kelak akan keluar kerumah istrinya dan wanita akan tetap berada didalam keluarganya dan terjaga pula kedudukannya dalam keluarga. Anak lelaki yang kemudian akan menikah ia akan pergi kerumah istrinya yang akan di sebut "sumando" atau dapat pula di sebut semenda, yang artinya adalah laki-laki dari luar yang di datangkan, pergi ketempat perempuan, dan dari sudut pandang keluarga perempuan (istrinya ) lelaki ini dianggap sebagai orang luar. Orang luar disini maksudnya bukanlah sebenar- benarnya keluar dari kesukuan masyarakat adat minangkabau tersebut melainkan tetap satu kesukuan namun berbeda keluarga.

Kawin Bertandang
Dalam kawin bertandang, laki-laki benar-benar seperti tamu dirumah sang istri, pada pagi hari sang suami harus pergi keluar untuk bekerja dan pulang pada malam hari, atas apa yang didapatkan dari apa yang diusahakannyapun sepenuhnya diperuntukkan untuk orang tua, saudara perempuan, dirinya dan anaknya. Maka dari itu jika kita melihat dalam hal ini maka dalam Kawin bertandang ini tidak timbul harta bersama sebab peruntukkan dari hartanya tersebut bukan untuk istrinya, sebab ada syarat-syarat tertentu yang harus terpenuhi agar menjadi harta besama.

Syarat-syarat harta bersama yang harus terpenuhi menurut hukum adat adalah :
  1. Adanya hidup bersama, hidup berkeluarga, "hidup keluarga yang akrab"
  2. Adanya kesetaraan derajat antara suami dan istri, baik dalam artian ekonomis maupun keturunan.
  3. Tidak ada Pengaruh hukum Islam
  4. Adanya hubungan baik antara suami dan istri dan antara keluarga kedua belah pihak satu sama lain.

Tidak terpenuhi sayarat diataslah yang menjadikan harta bersama tidak ada dalam perkawinan bertandang. Bagi seorang istri (wanita minang) yang kawin bertandang, harta yang dimilikinya seluruhnya berasal dari keluarganya, termasuk ruangan yang ditempati bersama suaminya yang merupakan bagian rumah gadang yang ditinggali bersama dengan keluarga besar sang istri.

to be continue...